√ Riwayat Hidup Kh.Ahmad Asrorie Al-Ishaqy


 Achmad Asrori Al Ishaqy RA dilahirkan di Surabaya pada tanggal  √ Riwayat Hidup KH.Ahmad Asrorie Al-Ishaqy
Kabarmadrasah.com -KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA dilahirkan di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1951.[1] Beliau yaitu putra ke-empat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya berjulukan KH. Muhammad Utsman Al Ishaqy dan ibunya berjulukan Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH. Munadi. Al Ishaqy yaitu gelar yang dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah dari Sunan Giri. Sebab, KH. Utsman yaitu keturunan ke-14 dari Sunan Giri. Dari jalur ibu, silsilah nasab KH. Asrori bersambung dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Jika dirunut, nasab Yai Rori bersambung dengan Nabi Muhammad SAW pada urutan yang ke-38. Berikut silsilah nasab Beliau: Achmad Asrori al Ishaqy – Muhammad Utsman al Ishaqi – Nyai Surati – Kyai Abdullah – Mbah Dasha – Mbah Salbeng – Mbah Jarangan – Kyai Ageng Mas – Kyai Panembahan Bagus – Kyai Ageng Pangeran Sadang Rono – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guwa – Syaikh Fadllullah (Sunan Prapen) – Syaikh Ali Sumadiro – Syaikh Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) – Syaikh Maulana Ishaq – Syaikh Ibrohim Akbar (Ibrohim Asmorokondi) – Syaikh Jamaluddin Akbar (Syaikh Jumadil Kubro) – Syaikh Ahmad Syah Jalal Amir – Syaikh Abdullah Khon – Syaikh Alwi – Syaikh Abdullah – Syaikh Ahmad Muhajir – Syaikh Isa ar Rumi – Syaikh Muhammad Naqib – Syaikh Ali al ‘Iridhi – Syaikh Ja’far Shodiq – Syaikh Muhammad al Baqir – Sayyid Ali Zainul ‘Abidin – Sayyid Imam al Husain – Sayyidah Fathimah az Zahro – Nabi Muhammad SAW.
Tanda-tanda Yai Rori akan menjadi seorang tokoh panutan sudah nampak semenjak masa muda Beliau. Setelah menuntut ilmu di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, Yai Rori muda berdakwah kepada bawah umur atau cowok jalanan. Padahal, di ndalem ayah Beliau yang berlokasi di kelurahan Jatisrono, Kecamatan Semampir, ayah Beliau sendiri juga masih memerlukan tenaga Beliau untuk membantu mengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Darul ‘Ubuudiyyah  yang diasuh oleh sang ayah sendiri.
Dengan metode dakwahnya yang unik, yaitu dengan mengikuti hobi bawah umur jalanan menyerupai bermain musik, nongkrong, dan sebagainya, bawah umur muda tersebut bertahap sanggup mendapatkan ilmu yang diselipkan oleh Gus Rori –begitu Yai Rori muda erat dipanggil– melalui dialog ringan dikala mereka semua sedang berkumpul.
Meskipun dalam skala yang lebih kecil, metode dakwah semacam ini mirip-mirip dengan apa yang dulu pernah dilakukan oleh para pendakwah Islam generasi awal di Indonesia, khususnya di tanah Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo. Dimana, cara Wali Songo berdakwah pada waktu itu yaitu melalui proses akulturasi budaya Islam dan budaya lokal yang telah mengakar berpengaruh di masyarakat. Mereka tak lantas eksklusif ‘membabat habis’ budaya-budaya lokal yang pada waktu itu sanggup dibilang ‘kurang Islami’ menyerupai wayangan, gendingan, gendorenan, dan lain sebagainya. Namun, budaya-budaya lokal tersebut justru dipakai sebagai sarana pendekatan ataupun sarana untuk menarik minat penduduk pribumi terhadap Islam. Sehingga, sesudah timbul ketertarikan dalam diri pemduduk pribumi, pada tahap selanjutnya, secara psiklogis mereka tentu juga akan lebih siap untuk mendapatkan dakwah Islam.
Apa yang dilakukan oleh Yai Rori muda pun kurang lebih juga menyerupai itu. Beliau tak eksklusif melarang aktivitas-aktivitas kurang produktif –untuk tak menyebutnya: kurang bermanfaat, menyerupai nyangkrukan dan lainnya-– yang telah menjadi kebiasaan para cowok jalanan yang menjadi obyek dakwah Beliau pada waktu itu. Namun, aktivitas-aktivitas tersebut justru dijadikan oleh Yai Rori muda menjadi semacam ‘pintu masuk’ untuk mulai mendakwahi dan membimbing mereka. Secara spesifik lagi,  meskipun pelan namun pasti, dalam hal ini mereka dibimbing biar tak hanya mau ngumpul-ngumpul dengan sesama komunitasnya sendiri saja. Namun mereka juga dibimbing biar mau ngumpul-ngumpul bersama dengan orang-orang shalih melalui majlis dzikir.
Seiring dengan terus berjalannya waktu, semakin usang semakin banyak pula cowok yang tertarik dengan metode ataupun konsep dakwah yang diterapkan oleh Gus Rori. Hingga pada akhirnya, Gus Rori mengajak mereka untuk mengadakan majlis manaqiban dan pengajian di Gresik. Majlis yang pertama kali ini dilaksanakan di kampung Bedilan yang di kemudian hari di-adakan secara rutin pada tiap bulannya di kawasan tersebut. Majlis ini di-isi dengan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al Jilany, pembacaan Maulid, dan tanya jawab keagamaan. Majlis ini awalnya diberi nama jamaah KACA yang merupakan abreviasi dari Karunia Cahaya Agung. Namun biar lebih familiar, Gus Rori menyebut anggota jamaah KACA dengan sebutan Orong-Orong. Secara harfiah, Orong-Orong yaitu hewan melata yang biasa keluar pada malam hari. Secara filosofis, derma nama semacam ini diubahsuaikan dengan sikap bawah umur muda pengikut Gus Rori yang rata-rata memang memiliki kebiasaan keluar pada waktu malam hari. Dalam perkembangannya, nama Orong-Orong ini kemudian menjadi lebih populer dibandingkan dengan nama KACA. Dan jamaah Orong-Orong inilah yang kelak, di kemudian hari ‘bermetamorfosis’ serta menjadi embrio dari lahirnya jamaah Al Khidmah.
Meski masih muda, ketokohan Gus Rori yang kharismatik dan netral serta sikap Beliau yang non partisan terhadap kelompok Islam tertentu ataupun terhadap partai politik tertentu, pada risikonya menciptakan Beliau sangat disegani oleh aneka macam kalangan masyarakat dari strata sosial serta kelompok yang berbeda-beda. Majlis-majlis Beliau bersifat inklusif serta terbuka bagi siapapun dan dari kelompok manapun. Sehingga, alasannya yaitu tidak adanya kesan eksklusivisme ini, tak mengherankan jikalau dalam majlis-majlis yang Beliau pimpin, para pejabat sipil maupun pemerintahan yang notabenenya memiliki pandangan keagamaan atau politik yang berbeda-beda, sering kali sanggup terlihat rukun serta mau untuk duduk gotong royong dalam sebuah majlis.
Pada tahun 1983, Gus Rori mendirikan mushola di Kelurahan Tanah Kali Kedinding. Dalam perkembangannya, ternyata banyak masyarakat sekitar yang antusias serta tertarik untuk memondokkan bawah umur mereka di kediaman gres Gus Rori tersebut. Akhirnya, Gus Rori mendirikan masjid dan pondok pesantren yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah.

Terima kasih telah membaca artikel ini, Semoga bermanfaat.
jangan lupa baca artikel :Al-Khidmah Kudus

Untuk melihat lebih jauh perihal semua postingan blog  ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 
Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih

0 Response to "√ Riwayat Hidup Kh.Ahmad Asrorie Al-Ishaqy"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel