√ Khususi ( Bag. 2 )

 Yai Rori RA mendefinisikan thariqah sebagai sebuah  √ Khususi ( Bag. 2 )
Kabarmadrasah.com - Dalam transkrip pengajian kali ini, Yai Rori RA mendefinisikan thariqah sebagai sebuah ‘perjalanan’ –atau yang dalam dunia sufi biasa dikenal dengan istilah suluk— yang hanya dapat dirasakan oleh para pelaku atau murid thariqah sejati. Yaitu mereka yang dalam menempuh perjalanan suluknya memang benar-benar menuju serta punya tujuan simpulan hanya kepada (keridlaan) Allah SWT. Beliau RA juga menggaris bawahi (lagi) bahwa perjalanan (suluk) ini perlu dirasakan atau dipraktikkan secara pribadi oleh para murid thariqah, dan tak hanya cukup diketahui teorinya saja (lihat lagi edisi sebelumnya wacana tasawuf ‘ilmi dan tasawuf ‘amali). Sebab, ilmu –atau lebih tepatnya teori-teori keilmuan dhahir– yang tak disertai dengan ketakwaan akan berpotensi mereduksi keyakinan seseorang. Inilah kurang lebih yang dimaksud dan disebut dalam sebuah riwayat –ada yang bilang ini termasuk hadits riwayat dari Ad Dailami dan Ibnu Hibban–: “Man izdaada ‘ilman walam yazdad hudan, lam yazdad illaa bu’dan” (Barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tak bertambah ketakwaannya, maka (hakikatnya) ia tak bertambah apapun selain bertambah jauh (dari Allah SWT).
                Perjalanan atau suluk thariqah yang disebutkan di atas yakni dengan cara menempuh atau menaklukkan ‘medan-medan’ spiritual tertentu. Dalam kitab Siraajut Thaalibiin, Syaikh Ihsan Jampes RA menyebut ‘medan’ yang harus ditempuh oleh para salik ini dengan istilah  ‘aqabaat (jalanan berundak yang naik dan menanjak ke atas, mirip halnya anak tangga). Tanjakan-tanjakan tersebut yakni berupa maqamat-maqamat ataupun ahwal-ahwal yang harus ‘ditaklukkan’ dan ditempuh oleh para salik biar ia dapat hingga kepada (keridlaan) Allah SWT. Maqamat ataupun ahwal berisikan aneka macam sifat/praktik mulia dan terpuji mirip taubat, ikhlas, dan lain sebagainya (lebih lengkap wacana macam-macam maqamat, dapat dilihat lagi di BAF mulai edisi 57). Perjalanan yang berundak ini sekaligus juga mengatakan bahwa perjalanan thariqah bukanlah perjalanan yang mudah. Perlu determinasi tinggi dan keteguhan hati untuk menaklukkannya. Beberapa makam wali songo mirip Sunan Muria, Sunan Giri, dan Sunan Gresik yang untuk dapat hingga kesana harus melalui jalanan yang berundak dan menanjak, mungkin, sekali lagi mungkin, juga mempunyai filosofi maqamat yang senantiasa harus ditingkatkan dengan terus mendakinya, tidak berhenti di tengah jalan apalagi turun sebelum hingga di ‘puncak’.
                Nah, perjalanan sulit dengan ‘medan berat’ yang harus ditkalukkan tersebut sekali lagi mempunyai sasaran atau goal yang mulia, yaitu biar hingga pada keridlaan Allah SWT, dan bukan hanya biar hingga di nirwana ataupun tak mampir ke neraka. Caranya yakni dengan memerangi hawa nafsu (mujahadatun nafsi).
                Apa yang terdetik dalam hati –dimana hati merupakan motor atau penggagas awal dari semua amal manusia– tidak/sulit untuk dipastikan: apakah ia bersumber dari Tuhan, setan, ataupun yang lainnya?. Maka, di sinilah urgensi dan tugas seorang Guru thariqah yang akan membimbing perjalanan seorang murid. Ini ditambah lagi dengan fakta bahwa perjalanan masing-masing murid memang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Karena berbeda, ‘treatment’ atau penanganan yang diberikan pun juga niscaya berbeda, diubahsuaikan dengan kondisi (spiritual) dari masing-masing murid. Makanya dalam aneka macam hadits, tanggapan Rasulullah ketika ditanya oleh beberapa Sahabat wacana amal apa yang paling cantik bagi mereka pun juga berbeda-beda. Sebab tanggapan tersebut akan Beliau sesuaikan dengan kondisi (dan kecenderungan/bakat) spiritual dari si penanya.
                Lebih lanjut lagi, Yai Rori RA juga menjelaskan wacana “al kalimuth thayyib” dan “al ‘amalush shalih”. Sebab, dalam mengarungi dan menempuh perjalanan thariqah, seorang salik niscaya akan memakai kedua ‘media’ tersebut. Dalam Al Qur’an surat Fathir ayat 10 disebutkan bahwa keduanya dapat ‘naik’ dan hingga (diterima) di sisi Allah SWT. Kunci biar amalan-amalan (ibadah badaniah) dan ucapan-ucapan (dzikir) tersebut dapat ‘sampai’ dan diterima oleh Allah SWT, berdasarkan Beliau RA yakni kalau pengerjaannya tak didorong oleh faktor-faktor atau motif-motif duniawi maupun ukhrawi. Motif duniawi mirip beribadah alasannya riya’ atau sum’ah dan yang semisalnya. Sedangkan motif ukhrawi mirip ketika ibadah seseorang didorong alasannya faktor menginginkan nirwana atau fadlilah-fadlilah tertentu dan biar terhindar dari (siksa) api neraka.
                Sedangkan macam atau varian dari amal shalih sebagai ‘media’ dalam menempuh perjalanan thariqah tersebut jumlahnya sangat banyak sekali. “Ath thara-iq ‘alaa ‘adadi anfaasil khalaa-iq.” Jumlahnya sebanyak bilangan nafas seluruh makhluk. Statetement ini, selain mengindikasikan berjumlah banyak juga mengindikasikan selamanya, seumur hidup (long life journey). Sebab, kelak yang akan ditanyakan (dihisab) ketika simpulan zaman yakni dua hal: ketika sedang menarik atau menghirup nafas sedang melaksanakan apa?, dan ketika mengeluarkan nafas sedang mengerjakan apa?. Karenanya orang thariqah sangat (dianjurkan untuk) menjaga keluar masuknya nafas mereka. Karenanya pula, terkait dengan menjaga keluar masuknya nafas ini, Beliau RA mengajarkan sebuah bimbingan yang ‘strategis’ sekaligus ‘cerdas’. Kita dibimbing oleh Beliau RA biar setiap kali menghirup nafas, ketika itu pula hati kita mengucap (penggalan kata) ”ALL”, dan di ketika membuang nafas, kita mengucap lanjutannya (yaitu cuilan kata) “LAH” dalam benak kita sambil menekuk pengecap ke atas mirip halnya ketika sedang melaksanakan dzikir sirri.  ”ALL” “LAH”.. ”ALL” “LAH”.. ”ALL” “LAH”.. begitu seterusnya, hingga kita terbiasa.
                Kenapa bimbingan ini ini kami sebut cerdas?. Karena ketika yaumul hisab dan kita ditanya: ketika menghirup dan membuang nafas sedang melaksanakan apa?. Kita dapat menjawab: “Mengingat Allah.”
                Kenapa bimbingan ini kami sebut strategis?. Karena dzikir model ini dapat kita lakukan sambil multy tasking. Artinya, kita dapat tetap melakukannya meskipun sambil mengerjakan acara sehari-hari secara normal. Sambil ngantor, sambil mendengarkan keterangan dosen ketika kuliah, sambil menunggu pembeli tiba membeli dagangan kita, atau yang lain, dalam hati, kita tetap dapat melaksanakan dzikir menjaga keluar masuknya nafas tersebut. Yang kami ingat lagi dari dawuh Beliau RA, untuk mempermudah melaksanakan hal tersebut, yang dilakukan pertama kali yakni menekuk pengecap ke atas. Karena itu menyerupai pintu masuk ataupun saklarnya.

sumber :buletinalfithroh.com

Untuk melihat lebih jauh wacana semua postingan blog  ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 

Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih

0 Response to "√ Khususi ( Bag. 2 )"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel