√ Khususi ( Bab 1 )
Level seorang muslim dalam beribadah atau dalam menempuh ‘perjalanan’ spiritualnya terbagi menjadi tiga. Pertama, level syariah atau Islam. Yaitu dikala ibadah seseorang masih sebatas pada urusan sah atau tidak sah. Standar yang ditetapkan oleh orang yang berada di level ini mudah saja: yang penting syarat serta rukun dari ibadahnya terpenuhi dan tercukupi dari sudut pandang ilmu syariah atau Fiqh. Masalah lain di luar itu menyerupai khusyu’ atau tidak, tak terlalu diambil pusing oleh orang-orang yang berada di level ini.
Yang kedua yakni level thariqah atau Iman. Yaitu dikala dalam ibadahnya, seseorang sudah bisa memurnikan niat dan tujuan, semata-mata hanya alasannya yakni Allah SWT. Dalam beribadah, ia tak lagi bertendensi pada hal-hal yang mungkin masih menjadi tujuan dari orang-orang yang berada pada level syariah menyerupai mengharapkan nirwana atau takut neraka. Orang yang berada pada level thariqah memiliki tujuan yang lebih bernilai dari sekedar harapan yang bersifat ‘matre relijius’ menyerupai itu. Tujuan dari ibadahnya semata-mata hanya alasannya yakni mengharap ridla Allah SWT.
Yang ketiga yakni level haqiqah atau Ihsan. Pada level ini, seseorang sudah bisa bermusyahadah. Artinya, dalam setiap ibadahnya, ia bisa dan bisa menyaksikan (kebesaran dan keagungan) Allah SWT. Kalaupun tak bisa menyerupai itu, dalam setiap ibadahnya, bahkan dalam setiap gerak-geriknya, ia selalu merasa disaksikan oleh Allah SWT. Karena senantiasa merasa disaksikan secara pribadi oleh Allah SWT inilah, iapun juga selalu berusaha untuk total dan maksimal dalam beribadah, baik dari segi batiniah apalagi dari segi lahiriah.
Terkait dengan tiga level tersebut, Beliau RA menawarkan suatu citra atau perumpamaan. Agama (Islam) diumpamakan menyerupai sebuah kebun. Sedangkan syariat yakni dinding atau pagarnya. Thariqah yakni rindangnya pepohonan di dalam kebun tersebut. Yang terakhir, haqiqah yakni buah yang dihasilkan oleh pepohonan yang rindang tadi.
Apalah artinya seseorang yang punya kebun tapi tak ada pagarnya?. Tentu perkebunan tersebut menjadi berisiko, terutama oleh gangguan-gangguan bersifat eksternal menyerupai penjarahan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab atau minimal oleh hewan ternak milik tetangga yang sedang kelaparan. Pada akhirnya, pertumbuhan pepohonan yang ada di kebun tersebut menjadi terhambat bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi mati. Orang yang beragama Islam namun tak menjalankan syariat pun juga menyerupai itu. Hati dan jiwa spiritualnya akan gersang bahkan mati alasannya yakni tak pernah ‘disirami’ oleh ibadah.
Apalah artinya sebuah kebun, jika pepohonan yang tumbuh di sana tidak rindang dan tidak subur?. Tentu ia menjadi kurang begitu berarti sebagaimana seorang yang rajin shalat, namun ia tidak atau belum bisa mencicipi kenyamanan dari shalatnya tersebut.
Apalah artinya pula kebun tersebut rindang namun di sisi lain ia tak bisa berbuah?. Tentu akan banyak yang menyayangkannya. Sebagaimana sangat disayangkannya seorang yang sudah bisa mencicipi lezatnya ibadah, tapi tidak ada progress atau peningkatan dari ibadahnya tersebut, atau kalaupun tak begitu, ibadahnya tak bisa menawarkan imbas kasatmata dalam perilakunya sehari-hari.
Yang terakhir, apalah artinya kebun yang rindang dan telah berbuah, namun tak ada pagarnya?. Tentu ini sama berisikonya menyerupai yang awal tadi. Seseorang yang sudah berada di level thariqah atau haqiqah namun tak mau menjalankan syariah pun juga berisiko. Minimal ia akan disalah pahami oleh orang-orang di sekitarnya sebagai orang yang tak taat terhadap hukum agamanya. Ketiga level tersebut idealnya selalu dikombinasikan dan tak hanya dipilih salah satunya saja. Sebab ketiganya memang saling terkait dan saling melengkapi satu sama lain.
Nah, thariqah itu yakni ilmu yang bekerjasama dengan rasa di dalam hati para pelakunya. Rasa yang dimaksud di sini yakni perasaan nyaman dan damai dikala melaksanakan ibadah atau ritual tertentu. Perasaan semacam ini tentu tak bisa diperoleh dari seminar-seminar tasawuf dan lainnya yang bersifat formal atau ilmiah. Ia bisa diperoleh dengan bersedekah atau melaksanakan ibadah tertentu secara kontinyu [baca: mujahadah]. Artinya, pribadi dipraktikkan dan tak hanya diteoritisasikan dalam majlis-majlis ilmiah saja.
Tujuan hidup –menurut Beliau RA— ada dua; untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai penunjang biar bisa damai dan lancar dalam beribadah. Tujuan hidup yang pertama [baca: beribadah] dikatakan ideal atau sesuai standar jika dalam beribadah, seseorang sudah bisa mencicipi kenyamanan atau sudah bisa mencicipi lezat-manisnya ibadah. Caranya yakni dengan ‘pintar’ istiqamah dalam beribadah dan tidak hanya pandai secara ilmiah. Selain itu, orang yang ingin mempertajam perasaannya juga harus mau berkumpul dengan orang-orang shalih dan kemudian mencari guru pembimbing atau mursyid. Sebab jika tak ada Guru yang membimbing, dikhawatirkan gurunya yakni setan. Orang-orang yang bisa menyerupai itu –mau ngumpul bersama orang-orang shalih dan punya guru mursyid–, mungkin dari segi teori ilmiah mereka tak bisa disebut pandai/pintar. Tapi dari segi amaliah, level mereka jauh di atas para akademisi yang hanya membicarakan tasawuf secara ilmiah saja, tapi tidak atau belum mempraktikkannya. Sebab yang dinilai oleh Allah SWT memang amal seseorang, bukan ilmunya!. Allah SWT berfirman dalam surat Al Mulk ayat 2 yang artinya: “Dialah Tuhan yang membuat hidup dan mati untuk menguji kalian semua: siapa di atntara kalian yang paling manis amalnya?.” Dari sini bisa disimpulkan bahwa tasawuf ‘amali lebih baik daripada tasawuf ‘ilmi. Tentu kondisi yang paling ideal yakni bersedekah sekaligus berilmu. Artinya, apa yang telah diamalkan dalam thariqah, kemudian juga diusahakan untuk bisa diketahui teori ilmiahnya. Tapi jika harus menentukan salah satunya saja alasannya yakni situasi dan kondisi memang tak memungkinkan untuk itu –misalnya alasannya yakni sudah udzur menyerupai kebanyakan jamaah kita yang sudah sepuh-sepuh–, tentu menentukan tasawuf ‘amali yakni pilihan paling bijak.
Tujuan hidup yang kedua yakni memenuhi kebutuhan hidup. Tentu ini ada kaitannya dengan rizki. Kondisi ideal dari hal yang bekerjasama dengan rizki ini yakni dikala seseorang sudah bisa mendapatkan serta merasa cukup dengan rizki yang telah ia peroleh dari usahanya (‘izzul qana’ah). Sekaya apapun seseorang, tapi jika beliau belum bisa merasa cukup dengan kekayaannya, maka hatinyapun juga masih belum bisa mencicipi ketenangan. Dalam hal ini, ia bekerjsama yakni orang yang miskin (hati). Sebaliknya, meskipun secara dhahir mungkin seseorang tidak bisa dibilang kaya –bahkan mungkin terlihat hidup serba kekurangan–, tapi jika hatinya bisa mencicipi cukup, maka beliau bekerjsama yakni orang yang kaya (hati).
Sumber: Transkrip Pengajian Romo Yai Asrori RA: Apa Itu Khushushi? (Bagian I)
0 Response to "√ Khususi ( Bab 1 )"
Post a Comment