√ Secangkir Kopi Dan Sepasang Amplop Putih

Kabarmadrasah.com -


 “Kopinya pahit ndak apa-apa, Mi...” Seru Pak Kamad dari ruang keluarga kepada Bu Imah, sang Istri yang berada di dapur. Pada dikala yang sama, sembari menekan-nekan tombol remot  televisi, Pak Kamad masih mencari program dari stasiun satu ke stasiun tivi lain.

“Acara kok ndak  mutu kabeh! Isine ghibah,  sana ghibah  sini, yang sini tak kalah ghibah sana. Mumet ndas-ku.” Gerutu Pak Kamad. Remot-pun diletakkannya di atas meja tanpa menentukan salah satu isu yang ada.
 Seru Pak Kamad dari ruang keluarga kepada Bu Imah √ SECANGKIR KOPI DAN SEPASANG  AMPLOP  PUTIH
Source picture : internet

“Baaah... Yakin kopinya pahit? Nanti Abah bilang Umi pelit alasannya kasih  gula dikit. Bilang saja untuk ngirit  gula, Bah.” Balas Bu Imah dari arah dapur.
“Syukur nikmat, Mi. Biar kesehatan ini dijaga Gusti Pengeran terus. Banyak gula dapat bikin diabetes melitus.” Jawab lelaki berusia tiga puluh delapan tahunan itu pada Istrinya.
“Muter-muter, Bah. Kayak Mak Atun keliling gang menjajakan sayurnya saja,”

Denting bunyi adukan kopi pada cangkir berbahan aluminium bermotif batik hijau kuno, menciptakan pendengaran Pak Kamad semakin terbuai pada aroma racikan Coffee Robusta  dari tangan sang Istri itu.
“Aah... Cepat, Mi.”
Bu Imah pun berjalan ke arah ruang keluarga. Sekumpulan asap halus yang mengepul di atas permukaan kopi memulai pada perbincangan,
“Kopi yang pahit ini lho, Mi. Ada filosofinya.” Senyum Pak Kamad tertuai ke wajah Bu Imah.
Mbuh-lah, Mbok  ya jangan pakai bahasa yang tinggi-tinggi kalau  ngomong  sama Umi. Umi kan ndak  pernah ‘makan’ dingklik kuliah.”

“Begini, Mi. Meyeruput pahit kopi ini, Ada makna kejujuran yang semakin langka. Sebagaimana Abah ibaratkan bahwa pahit kopi yaitu kejujuran, maka kini banyak yang berselera menambahkan gula banyak semoga pahit orisinil kopi tidak kelihatan, rela menggusur sebuah hakikat kejujuran untuk hasil yang manis. Yaaa, walaupun tak sadar yang terlalu manis malah beresiko penyakit.”

Baca Juga Artikel lainnya :



“Ngomong opo to, Bah? Pahit kopi, kejujuran, sing tak ngerteni  jika kopi semakin pahit, maka artinya Umi belum ke warung Mak Atun untuk beli gula. Lha uang belanja ini musti diirit. Ya to, Bah? Umi kan pengertian ndak asal bilang kurang sama jatah yang Abah kasih.”
“Hahahaha.” Tawa khas Pak Kamad tersimpul dari bibir berkumisnya.
“Kok malah tertawa to, Bah?” Heran Bu Imah. Pak Kamad pun merapat,
“Sini, Mi. Merapat ke Abah.”
“Ah, Abah! Ini siang bolong, Bah. Jangan dulu, Ozi juga lagi di halaman depan.” Bu Imah menangkis dengan ucapan.
“Ealaaah... Lha memang Abah arep njaluk ngopo ? Hahahaha.” Tawa yang semakin rekah di wajah Pak Kamad.

“Begini lho, Mi. Abah cuma mau bilang sesuatu ini, Mi.”
“Apa to, Bah?”
“Tadi pagi Abah dikasih dua amplop ini.” Sembari mengeluarkan dua buah amplop putih dengan tutup tanpa lem, dapat diintip berapa nominal di dalam amplop tersebut. Wajah Bu Imah pun tak dapat menyembunyikan binar-nya melihat amplop itu, Agak akal-akalan ja’im (gengsi;red) tapi masih ingin tau pada apa yang hendak dikatakan sang suami.

“Ini dari Lik Badrun, Mi. Semalam waktu Umi sudah tidur dia mengetuk pintu rumah kita. Dan dia memperlihatkan dua amplop ini.” Memelan bunyi Pak Kamad di bersahabat pendengaran sang Istri.
“Berarti Lik Badrun mau kasih uang buat kita, Bah. Mungkin tahu kalau kita membutuhkan. Shodaqoh itu namanya, Bah. Kita terima saja.” Bujuk Bu Imah.

“Eits... Akadnya itu lho yang bikin Abah dilema.”

Baca Juga Artikel lainnya :

“Kayak anak muda saja dilema, galau, mbok ya diterima. Rejeki ditolak itu ndak baik, Bah.” Bu Imah mencoba mengarahkan jemarinya pada amplop di tangan Pak Kamad. Tapi tetap dengan agak elegan sedikit,

“Ngomong-ngomong... Isinya berapa to, Bah?”
“Warna merah pokoknya, Mi.”
“Nah... Dua warna merah berarti? Rejeki itu, Bah.”
“Akadnya itu lho, Mi. Kita diminta nyoblos gambar keponakannya di pileg  (pemilihan legislatif;red) nanti. Masalahnya nurani Abah mengatakan, kalau mencalonkan jadi anggota dewan modalnya dua kepala alias dua pemilih saja sudah segini, berapa akumulasi tarjet keluarga yang dibidiknya? Berapa nominal totalnya? Apa ya nanti ndak mikir balik modal? Apa kita tidak masuk dalam orang yang mendukung hal itu? Kalau balik modalnya pakai uang negara?”

Bu Imah agak memanyunkan bibir cemberutnya. “Ya wis  lah, Umi ndak komentar. Yang penting Abah ingat, ya? Gula di toples tinggal dikit, dua hari lagi bayar listrik, Ozi juga sepatunya sudah gak layak pakai, Bah.”

“Haduh istriku yang manis ini, kalau itu konteks berbeda, Mi. Ada atau tidak uang panas ini, Insya Allah, Gusti Pengeran bakal nyukupi.” Mencoba Pak Kamad meyakinkan sang Istri.
“Tapi... Biasanya gaji Abah tiga bulan sekali lho, Bah? Yakin ndak ngopi hingga tiga bulan mendatang?”

“Hehehehe... Ayu temen istriku kalau cemberut. Ndak usah mikir yang ndak-ndak to, Mi. Ini...” Pak Kamad mengeluarkan sebuah amplop di saku sebelahnya lagi.
“Ini buat Umi, Insya Allah halal. Tadi dikala pulang dari Madrasah, Abah dipanggil Pak Cokro untuk memimpin doa di rumahnya. Hanif, Si Bungsu Pak Cokro ulang tahun.”

“Owalah, Alhamdulillah, Baaaah....” Girang Bu Imah sembari menciumi amplop yang satu itu, usai ia ambil dari tangan Pak Kamad.
“Rejeki istri sholihaaah.”

(bersambung)

By : 




Edisi Sebelumnya : Pak Kamad Part 2


Terima kasih telah membaca artikel ini, Semoga bermanfaat.
Jangan lupa baca artikel : KH. Ulil Albab Arwani pimpin Bimbingan Muqri' Yanbu'a

Untuk melihat lebih jauh perihal semua postingan blog ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ]

Semoga bermanfaat dan jangan lupa  klik tombol like dan Share Terima Kasih

0 Response to "√ Secangkir Kopi Dan Sepasang Amplop Putih"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel