√ Edisi Nomer Wahid

Kabarmadrasah.com - Edisi perdana dongeng keluarga Pak Kamad, berjulukan orisinil Muhammad. Hanya alasannya imbas logat jawa yang kental, ia lebih sering dipanggil Pak Kamad ketimbang bersusah Pak Muhammad. Ia seorang guru honorer di sebuah madrasah swasta, mempunyai seorang istri yang kerap disapa Imah. Nama panjangnya Maimunah. Serta seorang putra yang duduk di kelas lima, Ozi. Si Ozi ini bersekolah di daerah yang sama menyerupai Pak Kamad mengajar.
     
 Edisi perdana dongeng keluarga Pak Kamad √ Edisi Nomer Wahid
Satu pagi di sebuah warung milik Mak Atun, Imah sedang memilih-milih lauk untuk di masak nanti.
      “Kok dipilah-pilih terus to, Mbak Imah? Nanti daganganku pada gembuk (baca;empuk, rusak)” Ucap Mak Atun.
        “Ini lho, Mak. Bingung... Antara pilih tempe atau tahu.” Tukas Imah.
Terdengar Mbak Yanti, Mbak Nana, Bu Maya sudah berebut antrian minta dihitung barang belanjaannya.
      “Aku ndang diitung, Mak. Ayam sekilo, apel sak bungkus, buah naga dua.” Ucap Mbak Yanti dengan alis bersulam dan kutek merah bersinar di ujung kukunya.
      “Aku daging kebo setengah kilo, buah pir, brambang bawang lombok, kecap sak botol.” Sahut Mbak Nana dengan mengibaskan tangan yang berhias gelang bak toko mas berjalan.

Tak kalah Bu Maya dengan guratan lipstik merah merona menyahut, “Aku juga buruan diitung, Mak. Cumi-cumi, semangka sak gelondhong, sosis satu bungkus, kulit pangsit, sama minyak goreng yang kemasan dua kilo.”
       “Sik to, sabar. Sesuai antrian.” Jawab Mak Atun, si pemilik lapak.

Dalam hati Imah bergumam, kapan suaminya menawarkan uang belanja yang lebih semoga sanggup menikmati aneka lauk yang mungkin menikmatinya saja setahun sekali. Kalau bukan perayaan Idul Fitri, ya awal pembukaan bulan Ramadhan.
          Ketiga pembeli itu telah berbaur pulang. Sementara Mak Atun masih heran sama Imah.
         “Mbok ya ndang dipilih, Mah. Tempe ya enak, tahu ya mantep.”
        “Tempe saja, Mak. Tambah terasi seribu, ya! Di rumah lagi habis.”
      “Ndak sekalian satu kotak kecil ini terasinya? Kemasan ekonomis, lima ribu rupiah.” Rayu si penjual.
      “Seribu dulu, Mak. Nyambel buat dua hari cukup itu.”
      “Sayurnya? Bayem? Kangkung? Kol? Brokoli?”
      “Ramban di belakang rumah, Mak. Kangkung dan bayam yang ditanam Kang Kamad lumayan.” Balas Imah.
Pukul setengah dua siang di ruang makan kecil Pak Kamad. Olahantempe yang lezattersaji dari tangan Imah, Pak Kamad dan Ozi menyantap dengan lahap.
      “Mantap kuliner Umi-mu ya, Le?” Tanya Pak Kamad.
      Si Ozi menjawab, “Betul, Bah. Kali ini dua hidangan lauknya. Kering tempe, sama mendoan.”
      “Alhamdulillaaah...” Ucap sang Abah.

Usai menyantap hidangan, si Ozi bergegas pamitan untuk berangkat ke madrasah diniyah. Sang Abah tadinya mengajak Ozi bareng, alasannya di madrasah diniyah itu pula Pak Kamad juga mengajar fiqih salaf. Tapi dengan alasan ingin mengendarai sepeda barunya karena begitu bersemangat, Ozi menentukan berangkat lebih dulu.

Begitu Ozi menghilang dari pandangan, Imah berujar, “Kapan kita sanggup memberi kuliner yang bergizi buat Ozi ya, Bah... Tiap hari tahu tempe, gimbal ketela, perkedel ubi, sayur ramban. Jangan salahkan kalo Ozi itu otaknya ndak sanggup kayak anak yang banyak makan keju to, Bah...”

Baca Juga Artikel lainnya :

Pak Kamad ini malah cengengesan. Bingunglah si Imah.
      “Abah kok ngguya-ngguyu, to... Kapan kita sanggup membahagiakan Ozi layaknya bawah umur yang lain, Bah?” Dengan cubitan romantis mendarat di pinggang suami, Imah melanjutkan tanya.
      “Lha kok ndak diesemi ki piye to, Umi cantik?”
      “Ah, Abah ini. Kenapa tidak dijawab yang serius sih, Bah.”,
      “Lha ini serius. Begini istriku yang cuantiiikkk, sing ayune rak ketulungan. Sekarang aku tanya. Atas dasar apa mengukur kebahagiaan Ozi?”
      “Memberinya kuliner bergizi juga termasuk, Bah.”
      “Opo tempe ndak bergizi?”
      “Tapi Ozi jarang makan ayam, Bah.”
      “Nek kajatan yo entuk ayam, to? Nek ada wali murid bernazar juga kadang ngasih ingkung ke guru madrasah, wong konco-konco guru juga ndak sedikit yang dibungkus alasannya sayang anak kok, Mi.” Jelas Pak Kamad. Tapi sang istri masih menjejal pertanyaan lagi.
      “Abah ini juga, ngasih sepeda Ozi kok dari pasar loak. Berarti cinta Abah ke Ozi sebatas barang bekas.”

      “Lho lho lho... Umi ndak lihat tadi lisan Ozi senangnya bagaimana? Ozi terlalu polos untuk menilai benda itu mahal atau tidak, anak kita masih buta dari hal yang bersifat materi. Jangan ajari anak untuk gembira dengan kemewahan.namun mengajarinya cukup dalam keterbatasanitu sing penting.  Ozi bersemangat naik sepeda gres rasa second. ”
      “Alaaah, Ilmu mantiq-nya sampeyan kok ya dipraktekkan buat debat sama istri to, Bah?” Cemberut si Imah.

      “Sini to, Cah Ayu... Ndangak menduwur kuwi biso ndadi’ake keliliben. Bersyukur Ozi sehat, minta nya ndak macem-macem. Dan yang paling penting kau istri yang nomer wahid (baca;satu) ndak ada tandingannya.” Rayu Pak Kamad.

Sejenak Imah berpikir, “Sik sik, apa tadi Abah bilang? Nomer wahid? Berarti akan ada nomer Tsani, Tsalis, dan seterusnya, Bah?” Imah memukul-mukul punggung suaminya.
“Eh eh eh, Ini kok mukul-mukul mau ngaja "tanding" ya? Nanti malem wae, Mi... Abah musti berangkat ngajar diniyah ini” Canda Pak Kamad
“Abaaaahhhhhhhh”


(Bersambung)


by :




Terima kasih telah membaca artikel ini, Semoga bermanfaat.
Jangan lupa baca artikel : KH. Ulil Albab Arwani pimpin Bimbingan Muqri' Yanbu'a

Untuk melihat lebih jauh perihal semua postingan blog ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ]

Semoga bermanfaat dan jangan lupa  klik tombol like dan Share Terima Kasih

0 Response to "√ Edisi Nomer Wahid"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel